Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis menegaskan, kewenangan melakukan sensor dan pembluran bukan menjadi ranah lembaganya. Kewenangan itu ada pada lembaga lain yang secara regulasi dan aturan berbeda dengan KPI yang bermuara pada UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012.
“Ada penafsiran yang salah soal KPI terkait kewenangan pembluran dan sensor siaran. Setiap film atau drama sinetron harus melalui penyaringan di lembaga sensor film. Karena memang itu menjadi kewenangan LSF,” jelasnya pada peserta Lokakarya Media Massa bertemakan “Etika Jurnalistik dan Ranjau Hukum Pers Konvergensi” yang diselenggarkan Lembaga Pers DR. Soetomo di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin lalu (16/7/2018).
Menurut Andre, aturan yang terdapat dalam P3SPS KPI sudah sangat jelas mengatur apa yang boleh dan tidak disiarkan di lembaga penyiaran. Aturan ini menjadi patokan lembaga penyiaran untuk menentukan kebijakan mereka dalam melakukan editing terhadap siarannya.
“Terkadang ketika sumber daya manusia di lembaga penyiaran berganti, mereka harus membaca ulang aturan kami dan ini menjadi masalah karena pemahaman mereka belum penuh terhadap aturan penyiaran karena mengulang dari awal,” jelasnya.
Persoalan lainnya, UU Penyiaran dan UU Perfilman memiliki pandangan berbeda ketika melihat sebuah tayangan seperti film. Menurutnya, film yang diperuntukan tayang di bioskop tidak sama dengan film yang siarkan di lembaga penyiaran televisi. “Fleksibelitasnya tidak sama karena aturan televisi sangat ketat dan menggunakan frekuensi yang merupakan ranah publik karenanya pemahaman regulasi penyiaran dan perfilman sering berbenturan,” kata Andre, panggilan akrabnya.
Terkait penerapan etika jurnalistik, Ketua KPI Pusat meminta kalangan media khususnya jurnalis televisi agar mengunakan etika pada saat menjalankan proses pewartaan. Selain itu, jurnalis harus mengedepankan kecerdasan jurnalistiknya melihat kondisi saat ini seperti kasus terorisme. ***